Apakah mengkaji kitab para ulama dengan metode ngalogat masih relevan dengan zaman sekarang?


 Apakah mengkaji kitab para ulama dengan metode ngalogat masih relevan dengan zaman sekarang?

Di hampir seluruh pesantren di indonesia khususnya di pesantren salafiyah atau tradisional sangat kental dengan tradisi dan budaya lokal yang sangat mencolok seperti nadzoman, lalaran, mengkaji kitab kuning metode ngalogat dll. Sudah menjadi tradisi bagi para kiyai,ustadz maupun santri keharusan mereka dalam membaca dan memahami kitab kuning atau arab gundul sehingga tertanam di dalam masyarakat terutama masyarakat yang pernah atau dekat dengan pesantren salafiyah bahwa santri, ustadz, kiyai atau ajengan harus bisa baca kitab kuning arab gundul.
Tujuan daripada kemampuan membaca arab gundul ini supaya bisa membaca  kitab-kitab para ulama, seperti tijan darori, safinatunnaja, ta'limul muta'alim sampai kitab-kitab besar seperi ihya ulumudin dan hikam.
Dengan begitu mereka para santri selain belajar ilmu agama yang wajib yaitu tauhid,fiqih & tasawuf mereka diharuskan juga mempelajari ilmu gramatikal bahasa arab yaitu nahwu & shorof begitu juga ilmu sastra arab yaitu balaghah yang terdiri dari, ilmu ma'ani, ilmu bayan & ilmu badi' untuk menunjang pemahaman tentang bahasa arab. Biasanya kitab yang dipakai kalau di pesantren salafiyah itu alfiyah ibnu malik dan kalau di pesantren modern itu menggunakan metodenya sendiri seperti ta'limul lughoh, durusul lughoh dan lain-lain.
Tapi apakah keharusan para santri alam mempelajari ilmu gramatikal bahasa arab ini wajib? Kita lihat di dalam kitab Ihya ulumuddin ilmu yang hukumnya fardhu kifayah terbagi menjadi 2 yaitu ilmu syariat dan bukan ilmu syariat. Ilmu syariat terbagi lagi jadi 4 yaitu Ushul (Pokok), Furu (cabang), muqodimah (pengantar) dan penyempurna. Ushul yautu Al-Qur'an,  Hadits Ijma Ummat dan atsar sahabat.
Kedua Furu' yaitu menyangkut kepentingan duniawi dan ukhrowi. ketiga muqodimah yaitu ilmu pengantar seperti ilmu tata bahasa atau nahwu & shorof kemudian  ilmu penyempurna seperti ilmu tafsir.
Ilmu nahwu & shorof ada di bagian muqodimah yang artinya ilmu ini hukumnya fardhu kifayah yaitu kewajiban seluruh muslim yang apabila di suatu daerah ada yang melaksanakan maka gugur kewajiban bagi keseluruhan. Jadi ilmu ini hukum nya fardhu kifayah bukan fardhu ain.
Kenapa para ulama menghukumi bahwa Ilmu nahwu shorof itu wajib kifayah karena supaya orang yang telah mempelajarinya bisa mengajarkan nya kembali kepada orang lain, dalam konteks zaman dahulu di arab,irak, mesir dan negara timur tengah lain, ilmu nahwu shorof itu sangat penting karena tanpa ilmu itu pemaknaan atas suatu kata menjadi berbeda dengan maksud pengucap. Ada suatu kata-kata terkenal tentang ilmu nahwu shorof yaitu, Ilmu nahwu adalah bapaknya Ilmu dan Ilmu shorof adalah ibunya ilmu, sangat masuk akal karena di wilayah tersebut orang" memakai bahasa arab untuk berbicara dan bahasa arab tidak bisa dipahami tanpa nahwu shorof kecuali bahasa arab amiyah yaitu bahasa sehari-hari. Ilmu nahwu shorof di kehidupan masyarakat arab disebagian tempat yang masih memakai bahasa fushah sebagai bahasa sehari-hari itu seperti ilmu baca tulis, kalau tidak bisa nahwu maka tidak bisa baca tulis.
Para ulama perlu menguasai nahwu shorof untuk mempelajari kitab kuning, kitab kuning adalah kitabnya para ulama tentang ilmu agama yang wajib seperti tauhid fiqih tasawuf dan ilmu syariat yang fardhu kifayah seperti ilmu ushul fiqh, ilmu hadits, nahwu & sharaf.
Tapi apakah di zaman sekarang masih diperlukan ilmu nahwu shorof dalam memahami kitab ulama? Ketika banyak Kitab-kitab para ulama yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia maupun bahasa daerah. Mungkin kita tidak perlu lagi menguasai setumpuk kaidah nahwu sharaf untuk paham tauhid,Fiqih atau tasawuf, kita hanya perlu mengkajinya dari buku terjemahanya.
Tapi bagaimana jika maksud dari si penulis tidak tersampaikan dengan baik karena ada beberapa kata yang misalnya kata tersebut ada di bahasa arab tapi tidak ada di bahasa indonesia misalnya kata tayamum tidak ada maknanya di bahasa indonesia? Atau kata Muzah yang tidak ada di bahasa indonesia?
Benar bahwa tidak semua kata dalam bahasa arab bisa diterjemahkan ke bahasa indonesia tapi kita bisa menyisipkan definisinya jadi tidak terlalu berpatokan pada teks awal kitab tersebut. Kitab tersebut diterjemahkan ketika ada kalimat yang strukturnya berbeda dengan struktur bahasa indonesia, maka disesuaikan dengan struktur bahasa indonesia dan ketika ada kata seperti yang tadi, yang tidak padanan kata yang semakna antara bahasa arab dengan bahasa indonesia maka difenisikan kata tersebut seperti "muzah adalah penutup kaki yang menutupi kaki sampai mata kaki" maka tidak ada kesulitan dalan hal ini.
Kita hampir setiap menonton film barat membaca terjemah dari setiap percakapan dalam film tersebut tanpa takut salah memaknai kata tersebut, tanpa harus menguasai bahasa inggria kita bisa paham film barat, tanpa harus menguasai bahasa inggris kita bisa mempejari buku-buku dari barat seperti buku-buku malcolm gladwell dan penulis lain yang terkenal. Tapi kenapa dalam memahami Kitab bahasa arab yang terkandung intisari ilmu agama kita mempersulit dengan harus bisa nahwu shorof?
Ada suatu kaidah fiqh yang menyebutkan bahwa kesulitan mendatangkan kemudahan. Siapapun yang berdakwah baik ustadz & kyai harus bisa mempermudah pelajaran dan pengajaran agama supaya agama ini mudah untuk dipahami tidak mempersulit dalam mempelajari agama,
Tapi yang harus mempelajari nahwu & shorof itu kan santri yang mana diperasiapkan untuk menjadi ulama yang akan terjun ke masyarakat untuk menjelaskan Ilmu-ilmu agama bukan seluruh masyarakat?
Ya betul santri dipersiapkan dari pondoknya untuk memperdalam ilmu agama agar bisa bermanfaat bagi dirinya, keluarganya & masyarakat bahkan negeri. minimal dia harus bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri dan mengimplementasikan ilmunya untuk kehidupannya. Seperti yang dijelaskan tadi bahwa memperdalam ilmu agama itu dengan mempelajari Tauhid, Fiqh & tasawuf, itu semua bisa dipelajari lewat terjemahan dari kitab-kitab para ulama tidak perlu mempelajari kitab kuning arab gundulnya.dan juga tidak semua santri harus jadi kyai, tidak semua santri harus jadi ajengan. harus ada santri yang jadi pebisnis, harus ada santri yang jasi pejabat, harus ada santri yang jadi ilmuan terjun di berbagai bidang termasuk teknologi karena tanpa bisnis maka harta hanya akan dikuasai oleh orang-orang dzolim dan kafir, tanpa keterlibatan santri di Politik maka kebijakan akan cenderung mendukung kedzoliman. Untuk mempersiapkan itu maka harus ada pesantren yang mengajarkan manajemen keuangan, harus ada pesantren yang mengajarkan teknologi, bukan mewajibkan belajar teknologi tapi memfasilitasi agar supaya kelak ada ahli-ahli teknologi dari muslim, ada investor-investor dari muslim.
Tidak perlu khawatir umat islam tidak bisa memaknai Al-Qur'an dan Hadits ketika pesantren tidak mewajibkan belajar nahwu & sharaf karena sudah banyak Ahli tafsir dan Ahli hadits di Indonesia, seperti Prof. DR. Quraisy shibab, Gus Baha, KH. Hasyim asy'ari dan Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A, meskipun 2 orang yang terkahur telah berpulang ke rahmatullah tapi karyanya masih bisa dipelajari sampai sekarang. kita tidak perlu khawatir kehilangan ahli bahasa arab karena setiap tahun banyak Universitas Islam yang meluluskan sarjana-sarjana pendidikan bahasa arab dan bahasa sastra arab.
Tugas dari pada para sarjana bahasa arab ini seharusnya adalah menerjemahkan dan memperbaiki terjemahan kitab-kitab ulama yang telah ada supaya masih bisa dimengerti dan relevan dengan zaman nya
Karena tidak semua orang harus belajar bahasa arab, ada yang jagonya di bidang IT, di bidang Kedokteran dan lain sebagainya, setiap manusia memiliki kelebihan dan kekuranganya masing-masing. Jangan menilai ikan dari caranya terbang
Ini yang harus disadari oleh para pengelola pendidikan termasuk pendidikan di pesantren, jadi kita tidak perlu ngalogat dan mempelajari setumpuk kaidah nahwu & shorof untuk bisa paham agama dan paham nasihat para ulama terdahulu. Cukup baca buku terjemah nya saja. Semoga pendidikan pesantren di indonesia semakin berkembang dan melahirkan Ahli di berbagai macam bidang dan semoga para kyai dan ulama dalam msmbgelola pesantren semakin mengikuti perkembangan zaman Aamiin.
Wallahu a'lam bishowab

Postingan populer dari blog ini

Kemajuan Negara Indonesia: Perspektif Struktur Organisasi, Partisipasi dan Keterlibatan, serta Kebebasan Berorganisasi

SESAT BERPIKIR KH IMADUDDIN USTMAN

FILOSOFI TASBIH