BIOGRAFI MAMA EYANG RENDE
nama besar Mama Kyai Achmad Zakaria atau lebih dikenal dengan mama Eyang Rende sebagai penyebar syiar Islam memang sudah terkenal kemana-mana ia tidak hanya di Jawa Barat Mama Eyang Rende juga terkenal diseluruh Indonesia bahkan di beberapa bagian negara beliau dikenal sebagai ulama dari tanah Jawa namun lagi-lagi sumber literasi sang penyebar syiar Islam di wilayah kabupaten Bandung Barat ini secara akurat tidak banyak bisa ditemui, belum ada yang mencoba mendokumentasikan kiprahnya dalam menyebarkan agama Islam dalam bentuk tulisan yang bisa dijadikan sumber referensi sejarah Islam secara akurat cerita kemasyuran beliau hanya didapat dari tradisi lisan di lingkungan keluarganya dari generasi ke generasi Mama Eyang Rende dikenal sangat sederhana karena semasa hidupnya Sang Kiai sudah terbiasa hidup keras beliau kerap memakai pakaian yang tak layak pakai compang-camping hingga dianggap orang tak berilmu padahal Kiai bergelar Wali ini sangatlah cerdas karena memiliki keistimewaan Karomah yang dianugerahkan Allah kepadanya petilasan makam sang Wali terdapat di kampung Rende RT 01 02 Desa Rendeng Kecamatan Cikalong Wetan Kabupaten Bandung Barat beliau meninggal pada tahun 1939 sekitar 72 tahun lalu di usia sekitar 97 tahun Kompleks pemakaman beliau berdekatan dengan rumah beliau yang ditempatinya semasa hidupnya di kampung rende Muhammad Sirojudin generasi ketiga dari mama eyang rende menuturkan bahwa sang Wali merupakan keturunan kidalem Bandung salah satunya Eyang dalem Mahmud Syekh Abdul Manaf anak kedua dari pasangan Dimas dan bahas Ipan Kyai Haji Arif ini memiliki Kakak laki-laki satu-satunya yakni Muhammad Syamsuddin pada zaman dulu mama rende tinggal di daerah Cigondewah sekarang Kota Bandung bersama keluarganya dimasa kecilnya marende hidup sangat sederhana karena sejak kecil dirinya sudah ditinggalkan sang ayah dan sang kakak sehingga dirinya menjadi yatim dan hanya tinggal bersama sang Ibu sejak remaja Mama harus berjuang menghidupi dirinya dan sang Ibu Nyimas appo dengan berprofesi sebagai tukang Aci tepung tapioka melanjutkan usaha sang Ibu hingga dewasa usaha yang dilakukannya sejak remaja hingga dewasa tersebut tidak kunjung menguntungkan dirinya kerap mendapat kerugian dalam usaha di usia ke 35 tahun Mama mulai berkeinginan belajar agama Islam setelah mendapat petunjuk dari mama Eyang Prabu Marzuki bin Zainuddin bin Zainal Arif Eyang Agung Mahmud Hai Mama disuruh mengaji untuk pertama kalinya oleh Eyang Prabu Marzuki dan akhirnya beliau belajar mengaji dari mama Cibaduyut setelah mendapat perintah dari mama Eyang Ibrahim Cipatik almarhum tutur Dede di kediamannya Hai singkat cerita beliau belajar mengaji kepada Muhammad zarkasyi atau Mama Eyang Cibaduyut beliau belajar dan membaca semua kitab-kitab yang ada di pesantren beliau tidak pernah mampu membeli kitab karena beliau tidak memiliki uang untuk membelinya Namun karena keistimewaannya beliau mampu menghafal semua kitabnya Hai semua mazhab Mazhab Syafi'i Maliki Hambali dan Hanafi beliau pelajari dan semua mazhab beliau amalkan semuanya Hai beliau fasih dalam berbahasa Arab dan menghafal semua kitabnya katanya seusai pesantren di Mama Cibaduyut marende kemudian bermukim di Cibabat Cikalongwetan untuk menyebarkan syiar Islam dan mengamalkan ilmu yang telah dimilikinya di pesantren Mama Ajengan sepuh Cibabat dengan bergelar Ajengan Anom Cibabat sebelumnya Beliau juga menikahi Umi Siti Sadiah dan dikarunia enam orang anak lima orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki di Cibabat banyak para ulama dan kiai yang mengaji Kepada beliau dari mana-mana hingga muridnya tersebar di Jawa Barat dan seluruh Indonesia katanya ia tidak hanya mengaji atau pesantren di Mama Cibaduyut saja mama rende yang memiliki rasa akan keingintahuan yang tinggi ini juga berangkat mengaji ilmu agama ke Mekah Arab Saudi sekaligus menunaikan ibadah haji tidak hanya menuntut ilmu beliau pun terlibat peperangan di negeri Arab sana bahkan beliau mampu mengalahkan ratusan prajurit hingga beliau pun semakin disegani dan dihormati di tanah Arab serta harum namanya sebagai ulama dari tanah Jawa, setelah menuntut ilmu di Arab 10 tahun lebih beliau kembali ke Jawa untuk kembali melaksanakan syiar Islam dan menyebarkan ilmunya di daerah Cikalong Wetan dan menetap di kampung Rende sampai beliau wafat di sini tuturnya Sesampainya di rendem Mama menikah kembali dengan Umi uh dan dikaruniai seorang anak kini ratusan orang dari seluruh Indonesia kerap datang keren deh untuk mendoakan beliau dengan berziarah ke makam Eyang marende terlebih di bulan Rajab dan Maulid makam beliau dilindungi pagar baja yang mengelilinginya serta dilindungi dengan bangunan permanen yang dibangun pada tahun 2004 kemudian dibangun kembali majelis khusus jemaah yang ingin berziarah pada tahun 2011 Hai selain makam dan rumah beliau yang sudah direnovasi satu-satunya peninggalan yang sangat unik adalah bedug yang berusia sekitar 80-90 tahun bedug ini terbuat dari kayu gelondongan berdiameter 60-70 cm dan panjang 190 cm terbuat dari kayu Puspa yang sangat kuat tidak mudah keropos sama sekali Hai sementara kulit sapi terpasang apik dengan menggunakan panco Bamboo sehingga terkesan klasik meski sudah diganti puluhan kali kulit bedug peninggalan marende ini tetap menyimpan kisah dan menjadi salah satu bukti sejarah